PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang adalah salah satu tanaman budidaya paling penting untuk masyarakat
yang hidup daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini menjadi komoditi pertanian
global terpenting nomor empat setelah beras, gandum dan susu. Sebagian besar
dikonsumsi oleh penduduk lokal, tetapi kira-kira 10 persen dari 70 juta
produksi dunia adalah diekspor. Sebagai hasilnya industri ini mewakili sumber
utama dari pemasukan dan tenaga kerja di banyak negara-negara tropis yang
sedang berkembang (Islam, 1996).
Permintaan komoditas pisang di dalam negeri akan terus mengalami peningkatan
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya pendidikan,
meningkatnya pendapatan dan kesadaran akan pentingnya gizi masyarakat. Selain
itu perkembangan pariwisata atau agrowisata dan agroindustri yang mengolah
hasil-hasil pertanian secara langsung akan meningkatkan kebutuhan bahan baku
dari komoditas hortikultura (Cahyono,1995).
Menurut Arias (1992) dalam Islam (1996), ”Peningkatan kebutuhan pisang
sejalan dengan peningkatan populasi dengan perkembangan pasar-pasar baru,
khususnya di Eropa, memiliki metode perkembangbiakan tradisional yang memungkinkan
untuk mengatasi permintaan bahan tanaman baru.” Lagipula produksi pisang di
tahun-tahun terakhir dipengaruhi oleh penyakit yang diakibatkan oleh jamur dan
virus seperti Sigatoka hitam (Mycosphaerella musiocola), penyakit Panama
(Fusarium oxysporum f. sp. cubense) dan penyakit pucuk tandan;
menyebarkan perbanyakan tanaman dari negara ke negara atau benua ke benua termasuk
penyebaran yang mungkin diikuti okeh penyakit tersebut (Schoofs (1990) dalam
Islam, 1996).
Perbanyakan tanaman secara konvensional umumnya masih memerlukan waktu
yang lama dan tempat yang luas. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat dilakukan
beberapa cara yang dianggap efektif untuk dapat meningkatkan kualitasmaupun
kuantitas dari produksi tanaman pisang khususnya pisang varietas raja. Sesuai
dengan kemajuan teknologi, budidaya pisang pun mengalami kemajuan pesat.
Budidaya pisang tidak hanya dilakukan sambil lalu tetapi telah dilakukan secara
intensif (Satuhu dan Supriyadi, 2004). Sistem perbanyakan tanaman ini dikenal
sebagai teknik kultur jaringan atau budidaya jaringan, dapat juga disebut dengan
perbanyakan tanaman secara vegetatif modern.
Pada dasarnya kultur jarungan adalah suatu metode untuk
mengisolasi bagian-bagian tanaman seperti sel, jaringan atau organ serta
menumbuhkannya secara aseptis (suci hama) di dalam atau di atas suatu medium
budidaya sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan
beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Prinsip kultur jaringan terdapat
pada teori sel yang dikemukakan oleh dua orang ahli Biologi dari German, M.J.
Schleiden dan T. Schwann.
Secara implisit teori tersebut menyatakan bahwa sel tumbuhan
bersifat autonom dan mempunyai totipotensi. Sel bersifat autonom artinya dapat
mengatur rumah tangganya sendiri, maksudnya adalah dapat melakukan metabolisme,
tumbuh dan berkembang secara independen, jka diisolasi dari jaringan induknya. Totipotensi
diartikan sebagai kemampuan dari sel tumbuhan untuk beregenerasi menjadi
tanaman lengkap kembali (Indriyanto, 2002).
Kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat
yang diperlukan bagi proses pembiakan tersebut dapat terpenuhi. Syarat-syarat
tersebut meliputi beberapa hal berikut ini : Pemilihan eksplan atau bahan
tanaman, penggunaan media yang cocok, keadaan aseptik dan pengaturan udara yang
baik (Nugroho dan Sugito, 2002).
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan
tanaman Pisang (Musa paradisiaca) dengan teknik kultur jaringan
Kegunaan Penulisan
-
Sebagai salah satu tugas
praktikum budidaya tanaman hias dan buah fakultas pertanian universitas
sumatera utara.
-
Sebagai salah satu bahan
bagi pihak yang membutuhkan
TINJAUAN PUSTAKA
Sistematika Pisang
Menurut Steenis (2003), kedudukan pisang barangan dalam taksonomi
adalah:
Kingdom : Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies :
Musa acuminata L.
Pisang berasal dari bahasa
Arab yaitu maus dan menurut Linnaeus termasuk keluargaMusaceae (Satuhu
dan Supriyadi, 1999). Pisang barangan merupakan pisang yang paling populer di
Sumatera Utara (Nuswamarhaeni, dkk, 1999). Indonesia merupakan salah satu
negara penghasil tanaman pisang dengan tingkat
keragaman yang sangat tinggi dan tersebar di seluruh daerah di
Indonesia. Pisang Barangan adalah salah satu jenis pisang yang sangat digemari
oleh konsumen meskipun harganya lebih mahal dibandingkan jenis lainnya
(Nainggolan dkk, 2002 dalam Wahyudi, 2004).
Adapun botani tanaman pisang adalah sebagai berikut: tumbuhan
seperti pohon, tinggi 2-9 m; batang pendek dalam tanah yang disebut Corm;
mempunyai kuncup-kuncup tunas yang akhirnya berkembang menjadi anakan. Akar
liar (adventif) tumbuh menyebar secara lateral, dapat mencapai panjang 4-5 m.
Batang yang di atas permukaan tanah adalah batang semu yang merupakan kumpulan
dari pelepah daun yang berdaging, membentuk suatu bentuk silindris dengan
diameter 20-50 cm. Daun baru yang terbentuk tumbuh dari batang semu. Helai daun
berbentuk oblong yang besar dengan panjang 150-400 cm dengan lebar 70-100 cm.
Bila bunga majemuk telah terbentuk di ujung batang semu, maka pembentukan helai
daun baru akan berhenti. Bunga majemuk terkumpul menjadi beberapa kelompok
(sisir) dan setiap kelompok didukung oleh daun penumpu yang besar, berwarna
merah dan di dalamnya terdapat dua baris bunga. Keseluruhan kelompok bunga ini
bersatu dalam bentuk seperti jantung, sehingga disebut sebagai jantung pisang.
Daun penumpu dari setiap kelompok bunga akan luruh setelah terjadinya proses
perkembangan buah (Sudarnadi,1996,).
Tanaman pisang termasuk tanaman iklim tropis basah yang mudah
didapatkan di Indonesia, tanaman ini tahan hidup di musim kemarau, mampu tumbuh
dan berproduksi baik pada berbagai jenis tanah pada ketinggian tempat antara
0-1000 m di atas permukaan laut. Tanaman pisang mudah tumbuh di berbagai
tempat sehingga penanaman yang dilakukan
oleh petani belum teratur dan sering dicampur dengan tanaman lainnya. Selain
itu pemeliharaan tanaman pisang belum dilakukan secara intensif, sehingga
produksi dan mutu buah yang dihasilkan masih rendah (Warda dan Hutagalung, 1994).
Teknik Kultur Jaringan
Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue
culture, weefcel cultuus atau gewebe kultur. Kultur adalah
budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan
fungsi yang sama. Maka, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu
jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti
induknya (Suryowinoto, 1991 dalam Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Manfaat perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah untuk perbanyakan
vegetatif tanaman yang permintaannya tinggi tetapi pasokannya rendah, karena
laju perbanyakan secara konvensional dianggap lambat. Di samping itu, perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan sangat bermanfaat untuk memperbanyak tanaman
introduksi, tanaman klon unggul baru, dan tanaman bebas patogen yang perludiperbanyak
dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat (Yusnita, 2003).
Perbanyakan
bibit secara cepat adalah salah satu dari penerapan teknik kultur jaringan yang
telah dilakukan terutama untuk beberapa jenis tanaman yang diperbanyak secara
klonal. Tujuan utamanya adalah memproduksi bibit secara massal dalam waktu
singkat. Hal ini terutama dilakukan pada
tanaman-tanaman yang persentase perkecambahan bijinya rendah. Tanaman hibrida
yang berasal dari tetua yang menunjukkan sifat male sterility,
hibrida-hibrida yang unik, perbanyakan pohon elite dan/atau pohon untuk batang
bawah dan tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif seperti kentang,
pisang dan strawberry juga diperbanyak
secara kultur jaringan (Gunawan, 1987 dalam Mattjik, 2005). Tujuan lain dari
kultur jaringan adalah untuk membiakkan bagian tanaman dalam ukuran yang sekecilkecilnya
sehingga menjadi beratus-ratus ribu tanaman kecil (klon), dan untuk menghasilkan
kalus sebanyak-banyaknya agar Dapat menghasilkan metabolit sekunder, misalnya untuk
keperluan obat-obatan.
Perbanyakan secara kultur
jaringan dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti organ,
jaringan, kumpulan sel, sel tunggal, protoplasma, dan kemudian menumbuhkan bagian-bagian
tersebut dalam media buatan aseptik yang kaya nutrisi dan mengandung zat
pengatur tumbuh. Proses ini berlangsung di dalam wadah tertutup yang tembus
cahaya sehingga bagian-bagain tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi
kembali menjadi tanaman lengkap (Saptarini, dkk, 2001).
Zat Pengatur Tumbuh
Di dalam tubuh tumbuhan, zat pengatur tumbuh mempunyai peranan
dalam pertumbuhan dan perkembangan demi kelangsungan hidupnya. Zat pengatur
tumbuh pada tanaman (plant regulator), adalah senyawa organik, yang
dalam jumlah sedikit dapat merubah proses fisiologi tumbuhan (Abidin, 1982).
Perkembangan kalus dikendalikan oleh hormon yang ditambahkan ke
dalam media, khususnya auksin dan sitokinin. Perubahan kadar zat pengatur
tumbuh dapat mempengaruhi morfogenesisi kalus menjadi tanaman utuh atau
organ-organ saja. Keseimbangan hormon yang diperlukan merupakan hal penting
untuk setiap spesies dan sering sangat beragam antara kultivar satu dengan yang
lain. Bila keseimbangan auksin/sitokinin dalam medianya tepat, maka kelompok
kalus akan segera terbentuk
(Nasir,
2002).
Pada tahun 1940 – an, para
ahli fisiologi tumbuhan dari Universitas Wisconsin di Amerika yang dipelopori
oleh Folke Skoog menemukan bahwa zat pengatur tumbuh auksin, yaitu IAA (Indol
acetic acid) dan NAA (Naphtalene acetic acid) yang sebelumnya sudah diketahui
dapat merangsang pembentukan akar pada setek, ternyata juga dapat merangsang
pertumbuhan sel secara in vitro, tetapi menghambat pembentukan mata
tunas. Pada tahun 1955, Carlos Miller dkk (yang bekerja dengan Skoog) menemukan
kinetin, suatu penemuan pertama hormon golongan sitokinin. Pada tahaun 1957,
Skoog dan Miller mempublikasikan studi klasik antara sitokinin dan auksin dalam
mengontrol pembentukan akar dan tunas dalam kultur jaringan (Yusnita, 2003).
Teknik Kultur Jaringan Pisang
Kultur jaringan adalah suatu usaha untuk menumbuhkan sel,
jaringan, dan organ tanaman pada medium buatan secara aseptik dalam lingkungan
yang terkendali. Pengadaan bibit dengan cara ini, sangat sesuai untuk usaha
pisang dalam skala besar (industri). Pada umumnya media yang digunakan dalam
kultur jaringan pisang ini adalah MS (Roedyarto, 1999 dan Gunawan, 1995).
Pisang umumnya diperbanyak dengan anakan. Anakan yang berdaun
pedang lebih disenangi petani, sebab
pohon pisang yang berasal dari anakan demikian akan menghasilkan tandan yang
lebih besar pada panen pertamanya (tanaman induk). Bonggol atau potongan
bonggol juga digunakan sebagai bahan perbanyakan. Tetapi jantung pisang juga
merupakan eksplan yang menguntungkan karena mudah mendapatkannya dan resiko
kontaminasi lebih kecil karena bukan berasal dari tanah dan tertutup rapat oleh
kelopak bunga (Nisa dan Rodinah, 2005).
Kini telah dikembangkan kultur jaringan untuk perbanyakan secara
cepat, melalui ujung pucuk
yang bebas-penyakit. Cara ini telah dilaksanakan dalam skala komersial, tetapi adanya mutasi yang tidak dikehendaki
menimbulkan kekhawatiran. Dalam
perbanyakan bibit pisang secara kultur jaringan, ada empat tahap yang harus dilalui yaitu, pertama, tahap inisiasi. Pada tahap
ini eksplan membentuk kalus dan bertunas
banyak. Kedua, tahap pelipatan tunas (multiplikasi) yaitu tunas yang sudah terbentuk dipisahkan kemudian ditumbuhkan dalam
medium agar tumbuh tunas baru (perbanyakan sub
kultur). Ketiga, tahap perakaran tunas (regenerasi planlet) dan tahap terakhir yaitu tahap aklimatisasi lingkungan
(Sunarjono, 2002 dalam Wahyudi, 2004).
KESIMPULAN
1.Tanaman pisang
merupakan tanaman yang berkembang biak dengan
menggunakan tunas tunas baru.
2.Tanaman pisang sangat
rentan terserang penyakit virus blood disease, sehingga orang jarang menanam
pisang.
3.teknik kultur
jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif yg mampu
mmperbanyak tanaman dengan mengambil sdikit dr bagian tanaman tersebut.
4.Pisang dapat
diperbanyak dengan cara teknik kultur jaringan dengan cara mengambil bagian
tanaman pisang dan di biakkan di laboratorium.
5.Persentase
pertumbuhan tanaman pisang dengan metode kultur jaringan dapat mencapai 99%
apabila media yang digunakan merupakan media yang sesuai dengan tanaman pisang.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati,
A.D. 1987. Induksi Kalus dan Differensiasi pada Kultur
Jaringan Gnetum gnemon L.
Fakultas Biologi. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fitriani,
A. 2003. Kandungan Ajmalisin pada Kultur Kalus Catharanthus roseus (L.)
G. Don Setelah Dielisitasi Homogenat Jamur Pythium aphanidermatum Edson
Fitzp. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Program Pasca Sarjana / S3.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Biro
Pusat Statistika. 2002. Statistika Indonesia. Jakarta.
Indonesia.
Setiyoko,
B. 1995.
Kultur Meristem Tanaman Pisang(Musa paradisiaca L.) Kultivar Ambon untuk
Memperoleh Tanaman yang Bebas Cucumber Mosaic Virus. Laporan Skripsi Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.
Sriyanti,
D.P. dan A.Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yayasan Kansius.Yogyakarta.
Martino,
D. 1997.
Tanggap Pengkalusan Eksplan Embrio Melinji (Gnetum gnemon L.)
terhadap Berbagai Komposisi NAA dan BAP kultur in vitro. Buletin Agronomi Universitas
Jambi. Jambi.
Purwanto,
D. 1991.
Pengaruh Ukuran Bahan Tanam terhadap KeberhasilanPerbanyakan beberapa
Varietas Pisang (Musa paradisiaca L.) dengan Metode Kultur
Jaringan. Skripsi Fakultas Pertanian
UNIBRAW. Malang.
Widiastoety,
D. dan A.Santi. 1994. Pengaruh Air Kelapa terhadap Pembentukan Proticorm
Like Bodies (PLBs) dari Anggrek Vanda dalam Medium Cair. Jurnal Hortikultura
Volume 4 No. 2.
Fowler,
M.W., 1983. Commercial application and economic aspects of mass plantcell
culture, dari Mantell, S.H., Smith, H. (Eds.), Plant Biotechnoligy. Cambridge
University Press, London
Sunarjono,
H. 2002.
Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Gunawan,
L.W. 1990. Teknik Kultur Jaringan
Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan. Pusat Antar Universitas (PAU)
Bioteknologi. IPB. Bogor.
P. 304.
Mante, S.,
and H.B.Tepper. 1983. Propagation of Musa textille Nee
Plants fromApical Meristem Slice in vitro. Plant Tissue Culture 2: 151-159
Radian. 1992.
Penggunaan Air Kelapa Dalam Media Kultur Jaringan Pisang (Musa paradisiaca
L). Program Pasca Sarjana. UGM.
Program KDK UNBRAW.
Ram, H. Y.,
Mohan, and F.C.Steward. 1964. The induction of growth in explanted tissue
of banana fruit. Canadiaan J. Bot.
42. 1559-1579
Syahid,
S.F. and Mariska. 1991. Kultur Meristem pada Tanaman Tembakau. Prosiding Seminar BioteknologimPerkebunan dan
Lokakarya Biopolimer untuk Industri.
Bogor. 10 – 11 Desember. 1991.
PAU Bioteknologi : IPB.
Wetherall,
D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara in
vitro. Seri Kultur Jaringan
Tanaman. IKIP Semarang Press. Semarang.
No comments:
Post a Comment