Thursday, July 18, 2013

Paper : Kultur Jaringan Pisang (Musa paradisiaca )


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pisang adalah salah satu tanaman budidaya paling penting untuk masyarakat yang hidup daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini menjadi komoditi pertanian global terpenting nomor empat setelah beras, gandum dan susu. Sebagian besar dikonsumsi oleh penduduk lokal, tetapi kira-kira 10 persen dari 70 juta produksi dunia adalah diekspor. Sebagai hasilnya industri ini mewakili sumber utama dari pemasukan dan tenaga kerja di banyak negara-negara tropis yang sedang berkembang (Islam, 1996).
Permintaan komoditas pisang di dalam negeri akan terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya pendidikan, meningkatnya pendapatan dan kesadaran akan pentingnya gizi masyarakat. Selain itu perkembangan pariwisata atau agrowisata dan agroindustri yang mengolah hasil-hasil pertanian secara langsung akan meningkatkan kebutuhan bahan baku dari komoditas hortikultura (Cahyono,1995).
Menurut Arias (1992) dalam Islam (1996), ”Peningkatan kebutuhan pisang sejalan dengan peningkatan populasi dengan perkembangan pasar-pasar baru, khususnya di Eropa, memiliki metode perkembangbiakan tradisional yang memungkinkan untuk mengatasi permintaan bahan tanaman baru.” Lagipula produksi pisang di tahun-tahun terakhir dipengaruhi oleh penyakit yang diakibatkan oleh jamur dan virus seperti Sigatoka hitam (Mycosphaerella musiocola), penyakit Panama (Fusarium oxysporum f. sp. cubense) dan penyakit pucuk tandan; menyebarkan perbanyakan tanaman dari negara ke negara atau benua ke benua termasuk penyebaran yang mungkin diikuti okeh penyakit tersebut (Schoofs (1990) dalam Islam, 1996).
Perbanyakan tanaman secara konvensional umumnya masih memerlukan waktu yang lama dan tempat yang luas. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat dilakukan beberapa cara yang dianggap efektif untuk dapat meningkatkan kualitasmaupun kuantitas dari produksi tanaman pisang khususnya pisang varietas raja. Sesuai dengan kemajuan teknologi, budidaya pisang pun mengalami kemajuan pesat. Budidaya pisang tidak hanya dilakukan sambil lalu tetapi telah dilakukan secara intensif (Satuhu dan Supriyadi, 2004). Sistem perbanyakan tanaman ini dikenal sebagai teknik kultur jaringan atau budidaya jaringan, dapat juga disebut dengan perbanyakan tanaman secara vegetatif modern.
Pada dasarnya kultur jarungan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian-bagian tanaman seperti sel, jaringan atau organ serta menumbuhkannya secara aseptis (suci hama) di dalam atau di atas suatu medium budidaya sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Prinsip kultur jaringan terdapat pada teori sel yang dikemukakan oleh dua orang ahli Biologi dari German, M.J. Schleiden dan T. Schwann. 
Secara implisit teori tersebut menyatakan bahwa sel tumbuhan bersifat autonom dan mempunyai totipotensi. Sel bersifat autonom artinya dapat mengatur rumah tangganya sendiri, maksudnya adalah dapat melakukan metabolisme, tumbuh dan berkembang secara independen, jka diisolasi dari jaringan induknya. Totipotensi diartikan sebagai kemampuan dari sel tumbuhan untuk beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Indriyanto, 2002).
Kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang diperlukan bagi proses pembiakan tersebut dapat terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi beberapa hal berikut ini : Pemilihan eksplan atau bahan tanaman, penggunaan media yang cocok, keadaan aseptik dan pengaturan udara yang baik (Nugroho dan Sugito, 2002). 
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan tanaman Pisang (Musa paradisiaca) dengan teknik kultur jaringan
Kegunaan Penulisan
-          Sebagai salah satu tugas praktikum budidaya tanaman hias dan buah fakultas pertanian universitas sumatera utara.
-          Sebagai salah satu bahan bagi pihak yang membutuhkan

TINJAUAN PUSTAKA
Sistematika Pisang
Menurut Steenis (2003), kedudukan pisang barangan dalam taksonomi adalah:
 Kingdom         : Plantae
 Divisio             : Spermatophyta
 Sub Divisio    : Angiospermae
 Kelas              : Monocotyledoneae
 Ordo               : Zingiberales
 Famili             : Musaceae
 Genus             : Musa
 Spesies           : Musa acuminata L.
Pisang berasal  dari bahasa Arab yaitu maus dan menurut Linnaeus termasuk keluargaMusaceae (Satuhu dan Supriyadi, 1999). Pisang barangan merupakan pisang yang paling populer di Sumatera Utara (Nuswamarhaeni, dkk, 1999). Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman pisang dengan tingkat  keragaman yang sangat tinggi dan tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Pisang Barangan adalah salah satu jenis pisang yang sangat digemari oleh konsumen meskipun harganya lebih mahal dibandingkan jenis lainnya (Nainggolan dkk, 2002 dalam Wahyudi, 2004).
Adapun botani tanaman pisang adalah sebagai berikut: tumbuhan seperti pohon, tinggi 2-9 m; batang pendek dalam tanah yang disebut Corm; mempunyai kuncup-kuncup tunas yang akhirnya berkembang menjadi anakan. Akar liar (adventif) tumbuh menyebar secara lateral, dapat mencapai panjang 4-5 m. Batang yang di atas permukaan tanah adalah batang semu yang merupakan kumpulan dari pelepah daun yang berdaging, membentuk suatu bentuk silindris dengan diameter 20-50 cm. Daun baru yang terbentuk tumbuh dari batang semu. Helai daun berbentuk oblong yang besar dengan panjang 150-400 cm dengan lebar 70-100 cm. Bila bunga majemuk telah terbentuk di ujung batang semu, maka pembentukan helai daun baru akan berhenti. Bunga majemuk terkumpul menjadi beberapa kelompok (sisir) dan setiap kelompok didukung oleh daun penumpu yang besar, berwarna merah dan di dalamnya terdapat dua baris bunga. Keseluruhan kelompok bunga ini bersatu dalam bentuk seperti jantung, sehingga disebut sebagai jantung pisang. Daun penumpu dari setiap kelompok bunga akan luruh setelah terjadinya proses perkembangan buah (Sudarnadi,1996,).
Tanaman pisang termasuk tanaman iklim tropis basah yang mudah didapatkan di Indonesia, tanaman ini tahan hidup di musim kemarau, mampu tumbuh dan berproduksi baik pada berbagai jenis tanah pada ketinggian tempat antara 0-1000 m di atas permukaan laut. Tanaman pisang mudah tumbuh di berbagai tempat  sehingga penanaman yang dilakukan oleh petani belum teratur dan sering dicampur dengan tanaman lainnya. Selain itu pemeliharaan tanaman pisang belum dilakukan secara intensif, sehingga produksi dan mutu buah yang dihasilkan masih rendah (Warda dan Hutagalung, 1994).
Teknik Kultur Jaringan
Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefcel cultuus atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Maka, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya (Suryowinoto, 1991 dalam Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Manfaat perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman yang permintaannya tinggi tetapi pasokannya rendah, karena laju perbanyakan secara konvensional dianggap lambat. Di samping itu, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan sangat bermanfaat untuk memperbanyak tanaman introduksi, tanaman klon unggul baru, dan tanaman bebas patogen yang perludiperbanyak dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat (Yusnita, 2003).
            Perbanyakan bibit secara cepat adalah salah satu dari penerapan teknik kultur jaringan yang telah dilakukan terutama untuk beberapa jenis tanaman yang diperbanyak secara klonal. Tujuan utamanya adalah memproduksi bibit secara massal dalam waktu singkat. Hal ini terutama  dilakukan pada tanaman-tanaman yang persentase perkecambahan bijinya rendah. Tanaman hibrida yang berasal dari tetua yang menunjukkan sifat male sterility, hibrida-hibrida yang unik, perbanyakan pohon elite dan/atau pohon untuk batang bawah dan tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif seperti kentang, pisang dan strawberry  juga diperbanyak secara kultur jaringan (Gunawan, 1987 dalam Mattjik, 2005). Tujuan lain dari kultur jaringan adalah untuk membiakkan bagian tanaman dalam ukuran yang sekecilkecilnya sehingga menjadi beratus-ratus ribu tanaman kecil (klon), dan untuk menghasilkan kalus sebanyak-banyaknya agar Dapat menghasilkan metabolit sekunder, misalnya untuk keperluan obat-obatan.
 Perbanyakan secara kultur jaringan dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti organ, jaringan, kumpulan sel, sel tunggal, protoplasma, dan kemudian menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan aseptik yang kaya nutrisi dan mengandung zat pengatur tumbuh. Proses ini berlangsung di dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian-bagain tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman lengkap (Saptarini, dkk, 2001).
Zat Pengatur Tumbuh
Di dalam tubuh tumbuhan, zat pengatur tumbuh mempunyai peranan dalam pertumbuhan dan perkembangan demi kelangsungan hidupnya. Zat pengatur tumbuh pada tanaman (plant regulator), adalah senyawa organik, yang dalam jumlah sedikit dapat merubah proses fisiologi tumbuhan (Abidin, 1982).
Perkembangan kalus dikendalikan oleh hormon yang ditambahkan ke dalam media, khususnya auksin dan sitokinin. Perubahan kadar zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi morfogenesisi kalus menjadi tanaman utuh atau organ-organ saja. Keseimbangan hormon yang diperlukan merupakan hal penting untuk setiap spesies dan sering sangat beragam antara kultivar satu dengan yang lain. Bila keseimbangan auksin/sitokinin dalam medianya tepat, maka kelompok kalus akan segera terbentuk
(Nasir, 2002).
 Pada tahun 1940 – an, para ahli fisiologi tumbuhan dari Universitas Wisconsin di Amerika yang dipelopori oleh Folke Skoog menemukan bahwa zat pengatur tumbuh auksin, yaitu IAA (Indol acetic acid) dan NAA (Naphtalene acetic acid) yang sebelumnya sudah diketahui dapat merangsang pembentukan akar pada setek, ternyata juga dapat merangsang pertumbuhan sel secara in vitro, tetapi menghambat pembentukan mata tunas. Pada tahun 1955, Carlos Miller dkk (yang bekerja dengan Skoog) menemukan kinetin, suatu penemuan pertama hormon golongan sitokinin. Pada tahaun 1957, Skoog dan Miller mempublikasikan studi klasik antara sitokinin dan auksin dalam mengontrol pembentukan akar dan tunas dalam kultur jaringan (Yusnita, 2003).
Teknik Kultur Jaringan Pisang
Kultur jaringan adalah suatu usaha untuk menumbuhkan sel, jaringan, dan organ tanaman pada medium buatan secara aseptik dalam lingkungan yang terkendali. Pengadaan bibit dengan cara ini, sangat sesuai untuk usaha pisang dalam skala besar (industri). Pada umumnya media yang digunakan dalam kultur jaringan pisang ini adalah MS (Roedyarto, 1999 dan Gunawan, 1995).
Pisang umumnya diperbanyak dengan anakan. Anakan yang berdaun pedang  lebih disenangi petani, sebab pohon pisang yang berasal dari anakan demikian akan menghasilkan tandan yang lebih besar pada panen pertamanya (tanaman induk). Bonggol atau potongan bonggol juga digunakan sebagai bahan perbanyakan. Tetapi jantung pisang juga merupakan eksplan yang menguntungkan karena mudah mendapatkannya dan resiko kontaminasi lebih kecil karena bukan berasal dari tanah dan tertutup rapat oleh kelopak bunga (Nisa dan Rodinah, 2005).
Kini telah dikembangkan kultur jaringan untuk perbanyakan secara cepat,  melalui ujung pucuk yang bebas-penyakit. Cara ini telah dilaksanakan dalam skala komersial, tetapi adanya mutasi yang tidak dikehendaki menimbulkan kekhawatiran.  Dalam perbanyakan bibit pisang secara kultur jaringan, ada empat tahap yang harus dilalui yaitu, pertama, tahap inisiasi. Pada tahap ini eksplan membentuk kalus dan bertunas banyak. Kedua, tahap pelipatan tunas (multiplikasi) yaitu tunas yang sudah terbentuk dipisahkan kemudian ditumbuhkan dalam medium agar tumbuh tunas baru (perbanyakan sub kultur). Ketiga, tahap perakaran tunas (regenerasi planlet) dan tahap terakhir yaitu tahap aklimatisasi lingkungan (Sunarjono, 2002 dalam Wahyudi, 2004).

KESIMPULAN

1.Tanaman pisang merupakan tanaman yang berkembang biak dengan  menggunakan tunas tunas baru.
2.Tanaman pisang sangat rentan terserang penyakit virus blood disease, sehingga orang jarang menanam pisang.
3.teknik kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif yg mampu mmperbanyak tanaman dengan mengambil sdikit dr bagian tanaman tersebut.
4.Pisang dapat diperbanyak dengan cara teknik kultur jaringan dengan cara mengambil bagian tanaman pisang dan di biakkan di laboratorium.
5.Persentase pertumbuhan tanaman pisang dengan metode kultur jaringan dapat mencapai 99% apabila media yang digunakan merupakan media yang sesuai dengan tanaman pisang.

DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, A.D.  1987.  Induksi Kalus dan Differensiasi pada Kultur Jaringan Gnetum gnemon L.  Fakultas Biologi.  Universitas Gadjah Mada.  Yogyakarta.
Fitriani, A. 2003. Kandungan  Ajmalisin pada  Kultur Kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don Setelah Dielisitasi Homogenat Jamur Pythium aphanidermatum Edson Fitzp. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Biro Pusat Statistika.  2002.  Statistika Indonesia.  Jakarta.  Indonesia.
Setiyoko, B.  1995.  Kultur Meristem Tanaman Pisang(Musa paradisiaca L.)  Kultivar Ambon untuk Memperoleh Tanaman yang Bebas Cucumber Mosaic Virus.  Laporan Skripsi Fakultas Biologi UGM.  Yogyakarta.
Sriyanti, D.P. dan A.Wijayani.  1994.  Teknik Kultur Jaringan.  Yayasan Kansius.Yogyakarta.
Martino, D.  1997.  Tanggap Pengkalusan Eksplan Embrio Melinji (Gnetum gnemon L.) terhadap Berbagai Komposisi NAA dan BAP kultur in vitro.  Buletin Agronomi Universitas Jambi.  Jambi.   
Purwanto, D.  1991.  Pengaruh Ukuran Bahan Tanam terhadap KeberhasilanPerbanyakan beberapa Varietas Pisang (Musa paradisiaca L.) dengan Metode Kultur Jaringan.  Skripsi Fakultas Pertanian UNIBRAW.  Malang.    
Widiastoety, D. dan A.Santi.  1994.  Pengaruh Air Kelapa terhadap Pembentukan Proticorm Like Bodies (PLBs) dari Anggrek Vanda dalam Medium Cair. Jurnal Hortikultura Volume 4 No. 2.
Fowler, M.W., 1983. Commercial application and economic aspects of mass plantcell culture, dari Mantell, S.H., Smith, H. (Eds.), Plant Biotechnoligy. Cambridge University Press, London
Sunarjono, H.  2002.  Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan.  Penebar Swadaya.  Jakarta.
Gunawan, L.W. 1990.  Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan.  Laboratorium Kultur Jaringan.  Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi.  IPB.  Bogor.  P.  304.
Mante, S., and H.B.Tepper.  1983.   Propagation of Musa textille Nee Plants fromApical Meristem Slice in vitro.  Plant Tissue Culture 2: 151-159
Radian.  1992.  Penggunaan Air Kelapa Dalam Media Kultur Jaringan Pisang (Musa paradisiaca L).  Program Pasca Sarjana.  UGM.  Program KDK UNBRAW.
Ram, H. Y., Mohan, and F.C.Steward.  1964.  The induction of growth in explanted tissue of banana fruit.  Canadiaan J. Bot. 42. 1559-1579
Syahid, S.F. and Mariska.  1991.  Kultur Meristem pada Tanaman Tembakau.  Prosiding Seminar BioteknologimPerkebunan dan Lokakarya Biopolimer untuk Industri.  Bogor.  10 – 11 Desember.  1991.  PAU Bioteknologi : IPB.
Wetherall, D. F.  1982.  Pengantar Propagasi Tanaman Secara in vitro.  Seri Kultur Jaringan Tanaman.  IKIP Semarang Press.  Semarang.


No comments:

Post a Comment